Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Andreas Hugo Pareira, mengkritisi proses pemindahan lima narapidana atau napi kasus narkotika Bali Nine Australia. Menurut dia, pemerintah Indonesia terkesan menuruti semua permintaan Australia terkait pemindahan napi atau transfer of prisoner tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemindahan narapidana yang dilakukan terhadap lima napi WNA Australia ini terkesan ditutup-tutupi, hal yang sama juga terjadi terhadap Mary Jane, napi WNA asal Filipina," kata Andreas melalui keterangan tertulis, pada Kamis, 19 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan, pemindahan lima napi Bali Nine baru diketahui publik setelah kelimanya tiba di Australia. Lima terpidana Bali Nine yang diberangkatkan ke Australia pada Ahad pagi, 15 Desember 2024 dari Bali itu antara lain Scott Anthony Rush, Mathew James Norman, Si Yi Chen, Michael William Czugaj, dan Martin Eric Stephens.
Dalam proses pemindahan napi Bali Nine, kata Andreas, peemerintah menyatakan otoritas Australia ingin negosiasi dengan Indonesia berjalan baik. Sedangkan di saat yang sama, pemerintah Indonesia tengah bernegosiasi dalam penyusunan practical arrangement atau pengaturan praktis.
Politikus PDIP itu menilai, pemerintah Indonesia seolah tak memiliki ketegasan dalam proses pemindahan narapidana Bali Nine. "Nampak juga dari practical arrangement ini, kita didikte dan menuruti semua permintaan dari pihak Australia," kata dia.
Andreas menekankan kembali bahwa Indonesia tak punya dasar hukum untuk memindahkan napi asing ke negara asalnya. Ia mempertanyakan kepada pemerintah, seperti apa practical arrangement dalam sistem hukum Indonesia.
"Lantas, practical arrangement ini ini apa? Di mana letak practical arrangement ini dalam sistem hukum kita?” kata Andreas.
Dia juga mengingatkan bahwa kebijakan transfer of prisoner tersebut dipertanyakan oleh berbagai pakar hukum. Usai pemerintah memutuskan untuk memulangkan napi narkoba asal Filipina, Mary Jane Veloso ke negara asalnya, berbagai negara meminta hal yang sama, termasuk Australia terhadap napi Bali Nine itu. Bahkan, kata Andreas, proses pemindahan napi Bali Nine lebih dulu dilakukan.
“Topik ini jadi perhatian bukan hanya di kita, tetapi juga dari negara lain. Banyak pihak akhirnya mempertanyakan integritas sistem hukum di Indonesia,” ujar Andreas.
Dia khawatir pemindahan narapidana asing ke negara asalnya akan membuat hukuman mereka dikurangi atau malah justru akan dibebaskan. Sebab, kata Andreas, ketika narapidana sudah dipulangkan, maka kewenangan sudah berada di pemerintahan negara asal. "Mau direhabilitasi atau dibebaskan itu bukan kewenangan Indonesia."
Andreas mengingatkan, dasar yang digunakan pemerintah dalam proses transfer of prisoner dapat berdampak buruk di kemudian hari. Sebab, kebijakan practical arrangement untuk pemindahan narapidana asing tak memiliki dasar hukum yang jelas.
Practical arrangement ini, kata dia, berpotensi menjadikan penyelesaian pemindahan napi antarnegara tak punya standar aturan yang jelas. Pada akhirnya, berpotensi subjektif, sesuai selera siapa yang berkuasa.
Andreas menyinggung isi dari Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2022 yang mengamanatkan bahwa ketentuan pemindahan napi diatur dengan UU. Dia menyebut, beleid itu tidak mengamanatkan pemindahan napi melalui practical arrangement.
"Oleh karena itu, pemerintah perlu menjelaskan kepada publik mengapa dan alasan apa pemindahan narapidana ini mengabaikan UU Pemasyarakatan. Ini akan menjadi preseden buruk, karena justru pemerintah sendiri yang mengabaikan hukum di negeri ini," kata Andreas.
Menurut Andreas, Indonesia telah lama dikenal sebagai negara yang memiliki kebijakan tegas terhadap pelaku penyelundupan narkotika. Ketegasan ini, ujar dia, harus tetap dijaga untuk menunjukkan komitmen Indonesia dalam melindungi rakyatnya dari bahaya narkoba.
“Namun dengan dipulangkannya Mary Jane dan napi Bali Nine, muncul persepsi bahwa sistem hukum Indonesia dapat dinegosiasikan atau dipengaruhi oleh tekanan diplomatik,” kata Andreas.
Persoalan ini, kata Andreas, bukan hanya soal Mary Jane dan napi Bali Nine semata, tetapi tentang integritas dan kredibilitas hukum Indonesia. Dia mempertanyakan bagaimana negara lain akan menghormati hukum Indonesia, jika pemerintah sendiri tak menunjukkan ketegasan dan konsistensi dalam penegakkannya.
"Penegakan hukum yang tegas dan tidak bisa dinegosiasikan adalah kunci menjaga wibawa Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat," kata Andreas.
Kementerian Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan menjelaskan, pemindahan lima narapidana anggota Bali Nine dipindahkan ke Australia secara tertutup atas dasar permintaan Pemerintah Australia. “Itu permintaan pemerintah Australia bahwa mereka ingin memastikan semuanya berjalan lancar dan kami juga ingin memastikan negosiasi juga terus diperbarui dan semuanya aman,” kata Staf Khusus Bidang Hubungan Internasional Kemenko Kumham Imipas Ahmad Usmarwi Kaffah saat konferensi pers di Jakarta pada Senin, 16 Desember 2024.
Kaffah menuturkan pihak Australia menginginkan pemindahan kelima narapidana Bali Nine itu tidak ramai diperbincangkan di negaranya. Namun Kaffah memastikan kedaulatan kedua negara menjadi hal yang diutamakan dalam pemindahan narapidana internasional.
“Mereka ingin di sana, di Australia, tidak ramai, itu saja. Kita juga sebagai sahabat yang baik, sepanjang mereka mengikuti permintaan kita, menghormati kedaulatan negara kita dan aturan hukum yang sudah diputuskan pengadilan, kenapa tidak?” ujarnya.
Pilihan Editor: Ampi Golkar Usulkan UU Lobi Diterapkan di Pemilu