Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 usulan Komisi I DPR RI Tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran menuai kritik keras dari berbagai kalangan, khususnya insan pers nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pasal dalam revisi Undang-Undang Penyiaran atau RUU Penyiaran yang disusun oleh Komisi I DPR RI ini, dinilai akan memberangus kebebasan pers dan merenggut hak konstitusional masyarakat untuk memperoleh informasi. Proses perumusannya pun tidak melibatkan partisipasi masyarakat atau pihak yang berkepentingan sehingga berpotensi terjadi tumpang tindih aturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya, Pasal 8A huruf (q) draf Revisi UU Penyiaran, disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Selain itu, pasal 42 ayat 2 juga menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi KPI. Menanggapi hal tersebut, Kordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Yoyo Raharjo mengungkapkan akan ada kebingungan dalam menentukan kewenangan penyelesai sengketa.
“Misalkan ada perusahaan pers bikin media online, media online-nya bikin youtube, produk jurnalistik yang ada di youtube ini nanti larinya ke KPI atau Dewan Pers? Itu kan jadi kebingungan tersendiri. Jadi ini memang menjadi problem. Cara berpikirnya anggota DPR juga masih agak kacau, agak ruwet mungkin ya,” kata Yoyo dalam Diskusi Terbuka di Universtas Udayana (Unud) pada Ahad, 26 Mei 2024.
Selain perselisihan penyelesaian sengketa antara KPI dan Dewan Pers tersebut, adanya pasal sisipan terkait larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran yang juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers. Hal ini kemudian menuai kritik keras dari banyak pihak.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Provinsi Bali, Ambros Boni Berani menyebut, ketiadaan jurnalisme investigasi berarti rontoknya mahkota jurnalis.
“Kenapa kami televisi itu meributkan soal pasal itu ya terlebih di pasal 50B ayat 2 huruf (c) karena kalau tayangan investigasi itu udah nggak ada, maka yang pertama mahkota jurnalis itu rontok, terus kemudian akses hak publik untuk mengakses informasi itu, kalau kita tau kasus-kasus besar di Indonesia kan juga kelarnya, terungkapnya karena investigasi itu. Tentunya kenapa kita ributkan itu karena kalau itu sampai nggak ada maka kita seolah jadi corongnya pemerintah atau corongnya penguasa," ujarnya.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Ketua MKMK yang juga Dosen Fakultas Hukum Unud I Dewa Gede Palguna menambahkan pelarangan penayangan jurnalisme investigasi dapat merenggut hak konstitusional publik untuk mengakses informasi.
“Jurnalistik investigasi itu kan mau mengungkap, justru mau mendidik masyarakat perihal yang sebetulnya terjadi, yang tidak terkatakan lewat saluran-saluran formal, adalah pilar keempat yang namanya jurnalis atau pers, yang kemudian mencoba menjaga itu dan kemudian menyampaikan kepada publik, hal yang menjadi haknya.Karena menurut pasal 28 E Undang-Undang Dasar itu adalah hak konstitusional, the right to know,” kata dia.
Lebih lanjut, terkait Pasal 50B ayat 2 huruf (k) yang menyebut, dilarang membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, Palguna menilai, hal ini terlalu personal dan tidak termasuk ke dalam ranah hukum publik. "Kalau negara-negara maju nggak memasukan ini ke ranah hukum publik tapi perdata," ujarnya.
Pasal lainnya yang dapat mengancam jurnalis dalam muatan RUU Penyiaran ini adalah Pasal 51 huruf E yang mengatur penyelesaian sengketa jurnalistik dapat diselesaikan melalui pengadilan.
"Pasal 51 sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI itu coba secara ilmu perundang-undangan juga menurut saya bermasalah, dapat diselesaikan melalui pengadilan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kalau ada kata dapat di situ, harus ada penyelesaian utamanya itu yang mana, kalau itu tidak dapat tercapai, tak dapat diselesaikan lewat pengadilan, artinya main solution-nya itu harus ada dulu." kata dia
Menurut Palguna pengadilan harusnya menjadi obat terakhir bukan pertama. Sementara dalam pasal tersebut tidak dijelaskan apa solusi utamanya.
Di sisi lain, Kordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Provinsi Bali I Gusti Agung Gede Agung Widiana Kepakisan mengungkapkan KPI tidak pernah mengusulkan pendapat mengenai pasal-pasal kontroversi tersebut.
“KPI tidak pernah mengusulkan, tidak pernah menyampaikan, tidak pernah memberikan aspirasi, tidak pernah menyampaikan pendapat bahwa pasal-pasal itu adalah pasal-pasal yang harus dimasukan, yang pasal-pasal yang wajib dan ingin kita masukan adalah kemajuan teknologi, karena kita masuk ke berbagai sektor teknologi,” katanya.
Widiana menegasakan KPI tidak ingin mengintervensi kewenangan pihak lain, apalagi menyelesaikan sengketa pers yang sudah jelas undang-undangnya.
“Pada prinsipnya KPI tidak ingin mengambil kewenangan dari pihak lain, tidak ingin mencampuradukan kewenangan pihak lain, apalagi menyelesaikan sengketa pers yang sudah jelas-jelas ada undang-undangnya sendiri. Maka dari itu kami dari KPI sekali lagi saya tegaskan berkepentingan terhadap undang-undang, metodenya adalah menghapus, menghilangkan mengganti atau apapun istilahnya pasal-pasal yang cenderung bermasalah." kata Widiana.