Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Eksploitasi Mahasiswa Lewat Ferienjob, Beranda Perempuan dan Beranda Migran Beri 11 Tuntutan

Beranda Perempuan dan Beranda Migran menyampaikan 11 tuntutan atas kasus eksploitasi dan praktik TPPO lewat skema Ferienjob di Jerman.

26 Maret 2024 | 02.30 WIB

Ilustrasi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau human trafficking. REUTERS/Maxim Shemetov
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ilustrasi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau human trafficking. REUTERS/Maxim Shemetov

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta -  Beranda Perempuan dan Beranda Migran menyampaikan 11 tuntutan atas kasus eksploitasi dan praktik tindak pidana perdagangan orang atau TPPO lewat skema Ferienjob di Jerman. Setidaknya ada lima tuntutan yang ditujukan kepada universitas dan enam tuntutan lainnya ke pemerintah Indonesia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kepada pihak universitas, Beranda Perempuan dan Beranda Migran menuntut akuntabilitas untuk menghentikan seluruh program magang di luar negeri yang merugikan mahasiswa dan keluarganya. Kedua, universitas mesti menyediakan pendampingan kasus gratis kepada para korban dan keluarganya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Tuntutan ketiga adalah menjamin keamanan dan perlindungan bagi korban untuk melanjutkan kuliah. Keempat, menjamin pemulihan dan kompensasi korban dan keluarganya. Terakhir, universitas harus melindungi korban dari segala bentuk intimidasi. 

Sementara itu, tuntutan pertama kepada pemerintah Indonesia adalah menginvestigasi sindikat perekrutan mahasiswa untuk program magang bodong. Kedua, menghentikan seluruh praktik perekrutan mahasiswa ke luar negeri yang merugikan. 

Berikutnya, menghukum para pelaku TPPO yang menarget mahasiswa. Lalu, menjamin pemulihan dan kompensasi korban dan keluarganya. Kemudian, konsultasi rutin dengan berbagai kelompok peduli migran, TPPO dan mahasiswa. Terakhir, penyuluhan kepada seluruh universitas dan masyarakat terkait skema penipuan. 

Setidaknya, sekitar 1.047 mahasiswa dari 33 kampus di Indonesia jadi korban TPPO berkedok Ferienjob atau magang kerja di Jerman. Ferienjob ini dipromosikan dan direkomendasikan oleh universitas dengan iming-iming program kerja magang bergaji tinggi dan nilai konversi sebanyak 20 SKS.

Sebanyak 87 mahasiswa yang menjadi korban di antaranya berasal dari Universitas Jambi (Unja). Mereka mengikuti Ferienjob selama tiga bulan. 

RM, salah satu korban dari Unja yakin untuk mengikuti tawaran Ferienjob setelah mengetahui salah satu guru besar Fakultas Ekonomi di kampusnya telah menjadi partner Ferienjob. Di samping itu, karena Unja telah menandatangani MoU untuk periode 10 tahun. 

Dia mengikuti proses perekrutan, seleksi, dan penempatan selama berbulan-bulan. Akhirnya, RM bekerja di Jerman sebagai buruh bangunan dan buruh angkut barang di salah satu perusahaan jasa pengiriman paket di Jerman. Dia harus mengangkat beban paket mencapai 0,5 sampai 30 kg secara manual. Jam kerja yang panjang mengakibatkan RM sering mengalami kelelahan. 

Tak sampai di sana, ternyata upah kerja yang diterima jauh lebih rendah daripada nominal yang ditawarkan dan tertera di dalam kontrak. Upah RM per bulan tidak cukup untuk membayar biaya akomodasi yang harus dia tanggung sendiri. 

Selanjutnya, mahasiswa UNS juga melapor...

Beranda Perempuan mendampingi RM dan 8 mahasiswa korban dari Unja lainnya sebagai saksi atas laporan kasus TPPO. Dugaan TPPO dilaporkan oleh mahasiswa korban dari Universitas Sebelas Maret, mereka mengalami kondisi kerja yang buruk, beban kerja berat dan jam kerja panjang selama di Jerman.

Dua agensi di Indonesia yang menjadi aktor di balik TPPO ini adalah PT CV-GEN dan PT Sinar Harapan Bangsa (SHB). Agensi ini menggandeng universitas-universitas dengan klaim bahwa Ferienjob merupakan bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MKBM). Mereka menawarkan akan memberikan dana program tanggung jawab sosial untuk kampus. 

PT SHB berperan mengurus dokumen, mendapatkan surat penerimaan dari perusahaan di Jerman (Letter of Acceptance), kontrak kerja dari perusahaan, working permit, hingga pengajuan visa ke otoritas Jerman. Mahasiswa yang telah lolos seleksi lantas disalurkan melalui agen Runtime, RAJ dan Brisk di Jerman untuk bekerja di perusahan-perusahan penempatan. 

Proses pemberangkatan menjebak mahasiswa dalam jeratan utang, melalui skema dana talangan. Mahasiswa dibebankan utang biaya tiket pesawat dengan harga dua kali lipat dari harga normal. Ditambah 5 persen bunga dan pinjaman untuk biaya akomodasi. 

Jika dihitung totalnya, mahasiswa harus membayar sekitar Rp 30 sampai Rp 50 juta. Utang inilah harus dibayar dengan cara dicicil dari upah mahasiswa setelah bekerja.

Pada kenyataannya di Jerman, mahasiswa harus bekerja kasar. Mulai dari pelayan restoran, menyortir paket, mengemas dan mengantar paket. Mereka dipekerjakan di beberapa perusahaan yang kekurangan tenaga kerja fisik seperti restoran cepat saji, kafe, perusahan pengiriman barang, dan lokapasar atau e-commerce. Artinya, jenis-jenis pekerjaan ini sama sekali tidak berhubungan dengan konsentrasi kuliah mahasiswa.

Selain itu, mahasiswa juga mendapatkan tekanan dan intimidasi terus-terusan. Bahkan, beberapa korban mendapat somasi dari agensi karena tak mampu membayar utang.

Salah satu mahasiswa dari Institut Kesehatan Deli Husada dikeluarkan setelah melaporkan kasus yang menimpanya ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jerman. Tak hanya itu, salah satu mahasiswa dari Universitas Binawan diistirahatkan sementara atau cuti karena tidak membayar dana talangan. Di luar itu, banyak korban yang belum berani menyuarakan kasus karena tekanan-tekanan dan tidak adanya jaminan keamanan jika melapor.

Meskipun polisi telah menetapkan lima tersangka dari PT SHB dan PT CV-GEN, Beranda Perempuan serta Beranda Migran menegaskan kasus ini harus diusut hingga ke akarnya. "Ribuan korban kasus ini masih berstatus mahasiswa. Mereka terjebak pada program magang bodong ini, karena ada campur tangan dari universitas di mana tempat mahasiswa menuntut ilmu," sebagimana dikutip dalam keterangan resminya pada Senin, 25 Maret 2024.

Dalam kasus ini, mahasiswa telah diperlakukan sebagai objek percobaan pendidikan untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja manual di Jerman. Fakta ini dinilai merupakan cerminan dari sistem pendidikan Indonesia yang menempatkan universitas sebagai mesin pencetak tenaga kerja murah.

"Dengan program magang ini, universitas justru berperan menjadi promotor perdagangan mahasiswa. Universitas telah abai dan lalai dalam menjamin keamanan dan perkembangan proses belajar mahasiswa." 

Beranda Perempuan dan Beranda Migran menyatakan, universitas seharusnya juga mempertanggungjawabkan kebijakan dan program yang diberlakukan kepada mahasiswa korban.

Di sisi lain, program MBKM disebut membuka celah yang membuat mahasiswa jadi sasaran empuk para sindikat perdagangan orang. "Dengan dalih mempersiapkan mahasiswa untuk masuk ke dunia kerja, pemerintah justru melanggengkan komodifikasi mahasiswa sebagai tenaga siap pakai sangat rentan untuk dieksploitasi."

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus