Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kritik Guru Besar FEB UGM: PPN 12 Persen di Sektor Pendidikan Tidak Tepat, Sebaiknya Batalkan

"Rencana pengenaan PPN 12 persen terhadap pendidikan bertaraf internasional sangat tidak tepat dan sebaiknya dibatalkan," kata Guru Besar FEB UGM.

30 Desember 2024 | 07.34 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sebanyak 10.678 mahasiswa baru UGM mengikuti PIONIR Gadjah Mada. Dok. UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah merencanakan pengenaan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen pada berbagai sektor, termasuk pendidikan, terutama layanan pendidikan berstandar internasional. Kebijakan ini direncanakan mulai berlaku pada Januari 2025. Namun, rencana tersebut menuai kritik, salah satunya dari Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Prof Agus Sartono. Menurut Agus, pengenaan pajak pada sektor pendidikan tidaklah tepat dan sebaiknya dibatalkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Sartono menyampaikan kehadiran mahasiswa asing di Perguruan Tinggi Berbadan Hukum atau PTNBH juga memiliki peran strategis dalam jangka panjang. Selain melakukan mendorong ekspor layanan pendidikan, hal tersebut juga berpotensi melahirkan para Indonesianis yang memainkan peran penting dalam membangun hubungan bilateral antar negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Oleh sebab itu rencana pengenaan PPN 12 persen terhadap pendidikan bertaraf internasional sangat tidak tepat dan sebaiknya dibatalkan,” kata Agus, yang pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko Kesra (2010-2014) dan Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko PMK (2014-2021).

Agus berpendapat bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang tidak seharusnya dikenakan pajak. Jika pengenaan pajak tersebut dipaksakan, hal ini justru berpotensi memperburuk akses ke perguruan tinggi, sehingga Indonesia semakin tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya. Ia menegaskan bahwa jika pemerintah dapat mengurangi kebocoran anggaran dan korupsi, dana tersebut cukup untuk membiayai investasi di sektor sumber daya manusia. Mengabaikan sektor pendidikan, menurutnya, hanya akan membuat Indonesia makin terpuruk di masa depan.

“Pendidikan merupakan investasi jangka panjang dan tidak seharusnya dijadikan objek pajak. Kalau saja kebocoran dan korupsi dapat ditekan, maka lebih dari cukup untuk pembiayaan investasi sumber daya manusia. Jika kita abai terhadap sektor pendidikan maka hanya masalah waktu saja kita justru akan makin terpuruk,” kata dia, dikutip dari laman UGM.

Selain itu, Agus menyoroti bahwa kebijakan PPN ini tidak sejalan dengan upaya pemerintah yang tengah mendorong pendidikan bertaraf internasional. Di sisi lain, PTNBH telah lama mengembangkan program International Undergraduate Program (IUP).

Program ini tidak hanya memberikan kontribusi finansial bagi PTN H, tetapi juga menarik minat mahasiswa asing melalui program pertukaran pelajar. Keuntungan lain dari IUP adalah memungkinkan subsidi silang untuk membantu mahasiswa dari keluarga kurang mampu, sehingga mereka dapat mengakses pendidikan tinggi berkualitas.

Agus juga menekankan pentingnya kehadiran mahasiswa asing di PTN BH. Kehadiran mereka tidak hanya mendorong ekspor layanan pendidikan tetapi juga menciptakan potensi jangka panjang. Para mahasiswa asing ini bisa menjadi Indonesianis, individu yang memahami dan mendukung Indonesia di kancah internasional, serta berkontribusi dalam hubungan bilateral antarnegara.

Sebagai Deputi Bidang Pendidikan dan Agama di Kemenkokesra (2010–2014) dan Kemenko PMK (2014–2021), Agus menyatakan bahwa pengenaan pajak pada sektor pendidikan ini datang di waktu yang kurang tepat. Indonesia masih menghadapi tantangan besar terkait akses pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan bahwa pada tahun 2025, jumlah penduduk usia 19–23 tahun mencapai 27,39 juta orang.

Sementara itu, target angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi adalah 35 persen, yang berarti jumlah mahasiswa mencapai 9,58 juta. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah harus meningkatkan kapasitas pendidikan untuk 1,27 juta mahasiswa tambahan. Dalam situasi ini, Agus mempertanyakan logika di balik kebijakan PPN 12 persen. Menurutnya, langkah ini justru menambah beban saat pemerintah seharusnya fokus meningkatkan akses pendidikan.

Selain akses, Agus pun menyoroti tantangan terkait relevansi pendidikan dengan kebutuhan industri. Ia mempertanyakan apakah kebijakan ini akan memperburuk masalah ketenagakerjaan, mengingat banyak lulusan perguruan tinggi yang belum terserap oleh dunia kerja. Dalam pandangannya, kebijakan pengenaan pajak ini tidak hanya kontraproduktif tetapi juga berisiko menghambat upaya peningkatan kualitas dan akses pendidikan di Indonesia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus