Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid, tidak bisa melupakan sejumlah perlakuan Front Pembela Islam (FPI) terhadap keluarga dan koleganya. Putri Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid ini masih ingat kala FPI memprotes keras rencana ibunya, Sinta Nuriyah, untuk mengadakan buka puasa bersama di salah satu gereja di Semarang pada 2016. Ia juga ingat saat FPI Yogyakarta secara paksa membubarkan diskusi yang digelar beberapa rekannya di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami ini mengalami langsung. Kalau mereka dibiarkan, ya, akan begini terus,” kata Alissa saat ditemui di Hotel JS Luwansa, Jakarta, 16 Agustus 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, Ulfah Nurul Fadilah, 27 tahun, masih ingat saat ia menjadi relawan membantu korban tsunami yang terjadi di Banten, Desember 2018. Saat kondisi di sana masih berantakan dan banyak jenazah bergelimpangan, kata dia, keberadaan anggota organisasi FPI cukup terasa lantaran membuka akses jalan dan membantu evakuasi.
Warga Bekasi ini menilai keberadaan FPI memberi dampak yang positif di sekitar tempat tinggalnya. Menurut dia, kegiatan FPI yang menyerukan amar ma'ruf dan nahi munkar bisa mengurangi tempat hiburan malam. “Di sepanjang Kalimalang-Bekasi berkurang. Bersama Pemda Bekasi mereka menutup tempat hiburan malam,” katanya pada Tempo.
Kiprah FPI sejak didirikan pada 17 Agustus 1998 hingga kini tak bisa jauh dari kontroversi. Sebagian orang menilai keberadaan FPI meresahkan lantaran lekat dengan aksi kekerasan dan intoleransi. Namun, sebagian lainnya merasa FPI diperlukan karena dianggap menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar atau mengajak umat pada kebaikan dan mencegah kesesatan.
Banyak aksi kekerasan dan intoleransi FPI yang tercatat. Misalnya pada 1999 mereka menutup tempat perjudian di Petojo Utara, sweeping terhadap tempat hiburan malam hingga rumah makan yang buka di siang hari saat bulan puasa, penyerangan massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monas pada 2008, dan menolak Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta, hingga menggelar rentetan unjuk rasa besar meminta polisi memenjarakan Ahok dalam kasus penistaan agama.
Di sisi lain, FPI sering mengadakan acara-acara keagamaan. Lewat organisasi sayapnya, FPI kerap membantu masyarakat jika terjadi bencana alam.
FPI kini kembali menjadi buah bibir setelah statusnya sebagai ormas terdaftar di Kementerian Dalam Negeri berakhir pada 20 Juni lalu. Sebagian masyarakat mendukung pemerintah menerbitkan surat keterangan terdaftar (SKY) lagi, tapi ada pula yang menolak bahkan meminta pemerintah membubarkan FPI.
Di tengah keramaian tentang penerbitan SKT FPI, Presiden Joko Widodo atau Jokowi di hadapan media asing menyatakan pemerintah tidak segan untuk melarang FPI jika ideologinya tak sejalan.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, menilai FPI memang memiliki visi dan misi untuk menegakkan amar ma'ruf dan syariat Islam. Menurut dia, itu adalah suatu yang biasa. Namun berbeda dalam kasus FPI karena pendekatannya dianggap melalui kekerasan.
Menurut Ismail, selama ini pemerintah terkesan membiarkan segala bentuk kekerasan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh FPI. Penegakkan hukum dan pembinaan terhadap FPI dirasa lebih tepat ketimbang menolak perpanjangan SKT atau membubarkannya.
“Kuncinya adalah penegakkan hukum pidana. Kalau pendaftaran, pembubaran hanya hukum administrasi, itu soal kecil. Pemerintah harus mengadili pelanggaran FPI , jadi orangnya (diadili) bukan ormas. Ormas hari ini bubar besok bisa bikin lagi,” ujarnya.
Senada dengan Ismail, meski pernah menjadi korban tindakan FPI, Alissa Wahid meminta pemerintah tidak perlu sampai melarang atau membubarkan FPI. “FPI tidak harus dibubarkan, tapi aparat penegak hukum harus sangat tegas, enggak bisa sekarang-sekarang ini FPI sweeping dibantu Satpol PP dan dikawal polisi,” ujarnya.
Ketua DPP FPI Bidang Bela Negara dan Jihad, Abdul Qodir Aka, mempersilakan masyarakat untuk melaporkan atau menangkap jika ada anggota FPI yang melakukan kekerasan. Kesalahan seseorang tidak bisa dialamatkan menjadi kesalahan organisasi seluruhnya.
“Ketika salah secara pribadi, masing-masing yang berbuat sudah dapat ganjarannya. Ketika harus dipenjara, ya, dipenjara nggak apa-apa, masuk pengadilan, ya, masuk pengadilan, dan di pengadilan pun kadang terbukti nggak semuanya salah.”
Menurut dia, FPI tidak seanarkistis yang dipikirkan orang lain. Dalam melaksanakan kegiatan, FPI tetap berpegang pada arahan Imam Besarnya, Rizieq Shihab. “Habib Rizieq juga minta jangan melanggar syariat Islam juga jangan melanggar peraturan negara,” katanya.
Aka menuturkan jika FPI ingin melakukan sweeping maka pihaknya terlebih dahulu melayangkan protes atau surat pemberitahuan. Hal ini juga dilakukan sambil berkoordinasi dengan kepolisian.
“Prosedurnya pemberitahuan dulu, teguran dulu, sampai tingkat terakhir baru lah. Dan sekarang kami lebih banyak kerja sama dengan aparat,” ucapnya.